Another Nonsense of Mine…

If you know that you don’t know, it’s very humble. Then you can learn more.

If you know that you know, that’s smart. Or a brag.

If you don’t know that you know, that’s ironic. It’s one of time-wasters.

If you don’t know that you don’t know, that’s very dangerous. And pathetic indeed.

Is God Really Just?

Who say God is just? He’s not. He’s just extremely smart, you know, juz like a good strategist.

How does God make this world balance?

By making the healthy and the crippled.

By creating the rich and the poor.

By creating the smart and the dumb.

By having the religious and the atheist.

By making the loveable one and the hatefull at the same time.

***

I was just on my way to campus when I saw a guy selling newspapers, and I guess he’s crippled. Or such. Whatever. The point is, he’s definitely not like many people.

If God wanna show His love through people like that, then why He made people careless and ignorant?

If God wanna make wonders through such people, then why they are still wandering nowhere on the streets, like a homeless?

Tipikal Pilm2 Indonesia

Gue bener-bener nggak ngerti sinetron2 Indonesia sekarang. Bener-bener ngga masuk di akal, bikin gue jadi tambah males nonton aja.

Tipikal sinetron2 Indonesia:

–          Ceritanya tentang seorang cewek dari keluarga nggak mampu yang lantas ketemu cowok dari keluarga super tuajir ato guanteng setengah mati, terus mereka saling suka dan jadian

–          Super lebay, kalo marah2 matanya sampe melotot2 gitu, kayak mau keluar dari tengkoraknya, ato kalo ada suatu insiden, background musicnya digede-gede-in, en momen-nya dilama-lamain dengan kamera bolak-balik nyorot antar karakter2 yang berhubungan dengan insiden itu, terus dibikin slow motion (Plis deh, penting nggak sih?)

–          Nggak masuk akal, mostly sih ceritanya. Terutama kalo udah scene-nya ditambah-tambahin. Sekarang sih udah lebih modern istilahnya, kayak Cinta Fitri, pake Season 1, Season 2, Season 3, dst, gitu. Tapi intinya sih sama aja kayak sinetron jaman dulu macam Tersanjung, sampe Episode seratus berapa gitu. Gimana gak males ya nontonnya? Film Korea yang sampe berapa episode aja gue suka males. Tapi mungkin emang konsumsinya orang-orang sekarang semacam itu?

–          Nggak masuk akal yang kedua, (menurut gue sih) itu pemilihan aktrisnya (well, lebih refer ke penampilan sih sebenernya). Oke deh, kalo emang ceritanya tentang si gadis miskin, tapi (bukannya ngece sih) ya masa sih gadis miskinnya keliatan lebih elite daripada yang tajir? Mukanya putih, kayak bule gitu, padahal bonyoknya aja asli orang desa, dari pedalaman (dan nggak ada sentuhan2 bule sama sekali), bibirnya merah merona, keliatan banget pake lip-gloss, padahal boro-boro beli lipstick, cicilan rumah aja ngga sanggup bayar—sedangkan karakternya bukan tipe2 cewek yang mementingkan penampilan gitu (alias disuruh milih beli lip-gloss buat ngebagusin penampilan ato ngumpulin duit buat bayar cicilan rumah ya mending ngumpulin duit buat menyambung hidup tho ya??); yang paling aneh, waktu gue nonton sekilas sinetron—aargggh, gue lupa judulnya, pokoknya yang maen Cinta Laura sama si Glenn Alinskie itu (errrrrrrrrr, Airmata Cinta pa ya?)—si Cinta ceritanya cewek miskin banget, kerjaannya aja cuman jadi office girl, dia dibesarin sama nyokap dari keluarga gak mampu, masa sih ngomongnya kebule-bule-an gitu? Kalo soal Cinta Laura-nya sendiri sih emang habitnya dia ngomong kayak gitu, tapi kalo dinalar, bisa nggak sih, dibayangin kalo lo pergi ke desa, ato anak babu lo ngomongnya kebule-bule-an gitu? Bukannya ngece, tapi orang tajir aja malah ngomongnya medok (Jawa, maksudnya, secara gue tinggal di pulau kecil nan padat Jawa ini). Gubrak. Gubrak 2x. Gue maen drama aja sampe semir rambut warna item gara-gara rambut gue pirang sendiri. Sinetron? Lhailalah…

Kalo soal akting, nggak pada tempatnya sih gue rasa kalo gue kritik. So far, menurut gue, aktris en actor Indonesia udah bagus, secara mereka bisa nurutin maunya sutradara en permintaan penonton yang lebay (dengan gaya bicara, pelototan mata yang hyper itu, hehehe).

Soal plot, sigh… Sepertinya emang tipikal film konsumsi Indonesia yang seperti itu. Cewek miskin, terus diboyong ke tempat cowok super tuajir. Ck ck ck… Gak heran orang-orang terbuai dengan mimpi2 sejenis…

Masih Ada Lain Kali

“Pak, ke toko roti Bakery ya.”

Dengan semangat, bapak tua itu menjawab, “Iya!” dan segera ia turun dari becaknya dan pindah ke “kursi” pengemudi.

Anya menaiki becak itu seraya bertanya-tanya dalam hati berapa banyak biaya yang akan ia keluarkan untuk becak itu. Ia sudah menarik uang lebih dari cukup untuk membeli barang-barang serta kebutuhan yang akan ia beli nanti, tapi masih saja hatinya mencemaskan berapa banyak biaya yang sekiranya perlu ia keluarkan untuk membayar bapak penarik becak itu. Ia tidak ingin memberi terlalu sedikit, tapi ia juga tidak mau memboroskan uangnya hanya untuk membayar becak tersebut.

Ia masih mengira-ngira jumlah yang pantas ketika akhirnya becaknya berhenti di depan toko roti Bakery. Anya mengalihkan pikirannya dan turun dari becak.

Segera ia memborong roti-roti yang sudah dipesan untuk dibawa pulang, ke kampung halamannya. Tiba-tiba, ia terpikir bapak tua penarik becak itu, dan hatinya tergerak untuk membeli sepotong roti untuknya. Ia menaruh roti2 belanjaannnya ke dalam keranjang, dan ia melihat-lihat sekeliling, mencari-cari roti yang diinginkannya.

Akhirnya ia menemukan roti yang diinginkannya, tidak terlalu mahal, tidak juga terlalu murah. Ia menambahkan roti itu ke dalam daftar belanjaannya di dalam keranjang, dan membayarnya di kasir.

Ia kembali menemui pak becak itu, menyebutkan tempat perhentiannya yang selanjutnya. Saat ia duduk di becak, barulah Anya teringat akan roti yang dibelinya untuk bapak itu.

“Pak, ini ada roti buat bapak!” katanya seraya memberikan roti tersebut kepada bapak penarik becak. Bapak itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, kemudian meminta Anya untuk menyimpankan roti itu terlebih dulu.

Anya tersenyum puas. Senyum lebar mengembang di wajahnya.

Di perjalanan menuju tempat tujuannya yang lain, Anya teringat bahwa ia belum juga makan sejak pagi, dan perutnya mulai terasa lapar. Ia terpikir untuk berhenti di suatu tempat makan, serta mengajak bapak penarik becak itu untuk makan bersamanya. Akan tetapi, ia mengingat jumlah uangnya yang terbatas, serta jumlah uang yang sudah dikeluarkannya tidaklah sedikit—meskipun sebenarnya masihlah cukup untuk membayari dua orang makan asal ia tidak memilih makan di restoran mahal. Tetapi kemudian, terpikir lagi, apa yang akan dikatakan ibunya apabila beliau mengetahui rencana Anya? Anya yakin, ibunya tidak akan marah ataupun protes, tapi terbayang di kepalanya ibunya akan menyayangkan rencananya itu, dan bukan tidak mungkin ibunya akan berkata bahwa Anya terlalu baik, serta terlalu berlebihan. Anya mengurungkan niatnya, padahal belum juga ia mencoba untuk membicarakan hal tersebut dengan ibunya.

Niatnya bertambah ciut saat ia terpikir kemungkinan ada teman-temannya atau orang-orang yang ia kenal melihatnya makan bersama seorang penarik becak. Apa yang akan mereka pikirkan? Sebenarnya Anya tidak pernah berkeberatan akan hal itu. Ia tidak merasa mengajak makan seorang tukang becak merupakan hal yang buruk, tapi ia tidak merasa perlu untuk membanggakannya ataupun menceritakannya kepada orang-orang yang ia kenal—kepada siapa ia selalu berbagi cerita. Kali itu, gengsinya berbicara, tidaklah pantas seorang Anya terlihat makan bersama seorang bapak tukang becak yang bukanlah siapa-siapa.

Akhirnya, kekhawatiran Anya membuat Anya mengurungkan niatnya. Dia terus meyakinkan dirinya bahwa sepotong roti sudahlah cukup. Lagipula itu bukan sekedar roti biasa. Toko roti Bakery adalah toko roti yang paling besar di kota tempatnya tinggal waktu itu, dan roti-roti yang dijual di Bakery sudah terkenal enak, bahkan sampai ke kota asalnya. Akhirnya, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Akan ada kesempatan yang lain.”

Anya berhasil memborong semua barang yang ia perlukan dan akhirnya sampai di kosnya dengan selamat. Ia memberi bapak tua itu upah secukupnya—yang tidak diprotes oleh bapak itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Anya menghela nafas, dan menenteng belanjaannya masuk ke dalam kamarnya. “Masih ada lain kali,” katanya dalam hati.