“Pak, ke toko roti Bakery ya.”
Dengan semangat, bapak tua itu menjawab, “Iya!” dan segera ia turun dari becaknya dan pindah ke “kursi” pengemudi.
Anya menaiki becak itu seraya bertanya-tanya dalam hati berapa banyak biaya yang akan ia keluarkan untuk becak itu. Ia sudah menarik uang lebih dari cukup untuk membeli barang-barang serta kebutuhan yang akan ia beli nanti, tapi masih saja hatinya mencemaskan berapa banyak biaya yang sekiranya perlu ia keluarkan untuk membayar bapak penarik becak itu. Ia tidak ingin memberi terlalu sedikit, tapi ia juga tidak mau memboroskan uangnya hanya untuk membayar becak tersebut.
Ia masih mengira-ngira jumlah yang pantas ketika akhirnya becaknya berhenti di depan toko roti Bakery. Anya mengalihkan pikirannya dan turun dari becak.
Segera ia memborong roti-roti yang sudah dipesan untuk dibawa pulang, ke kampung halamannya. Tiba-tiba, ia terpikir bapak tua penarik becak itu, dan hatinya tergerak untuk membeli sepotong roti untuknya. Ia menaruh roti2 belanjaannnya ke dalam keranjang, dan ia melihat-lihat sekeliling, mencari-cari roti yang diinginkannya.
Akhirnya ia menemukan roti yang diinginkannya, tidak terlalu mahal, tidak juga terlalu murah. Ia menambahkan roti itu ke dalam daftar belanjaannya di dalam keranjang, dan membayarnya di kasir.
Ia kembali menemui pak becak itu, menyebutkan tempat perhentiannya yang selanjutnya. Saat ia duduk di becak, barulah Anya teringat akan roti yang dibelinya untuk bapak itu.
“Pak, ini ada roti buat bapak!” katanya seraya memberikan roti tersebut kepada bapak penarik becak. Bapak itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, kemudian meminta Anya untuk menyimpankan roti itu terlebih dulu.
Anya tersenyum puas. Senyum lebar mengembang di wajahnya.
Di perjalanan menuju tempat tujuannya yang lain, Anya teringat bahwa ia belum juga makan sejak pagi, dan perutnya mulai terasa lapar. Ia terpikir untuk berhenti di suatu tempat makan, serta mengajak bapak penarik becak itu untuk makan bersamanya. Akan tetapi, ia mengingat jumlah uangnya yang terbatas, serta jumlah uang yang sudah dikeluarkannya tidaklah sedikit—meskipun sebenarnya masihlah cukup untuk membayari dua orang makan asal ia tidak memilih makan di restoran mahal. Tetapi kemudian, terpikir lagi, apa yang akan dikatakan ibunya apabila beliau mengetahui rencana Anya? Anya yakin, ibunya tidak akan marah ataupun protes, tapi terbayang di kepalanya ibunya akan menyayangkan rencananya itu, dan bukan tidak mungkin ibunya akan berkata bahwa Anya terlalu baik, serta terlalu berlebihan. Anya mengurungkan niatnya, padahal belum juga ia mencoba untuk membicarakan hal tersebut dengan ibunya.
Niatnya bertambah ciut saat ia terpikir kemungkinan ada teman-temannya atau orang-orang yang ia kenal melihatnya makan bersama seorang penarik becak. Apa yang akan mereka pikirkan? Sebenarnya Anya tidak pernah berkeberatan akan hal itu. Ia tidak merasa mengajak makan seorang tukang becak merupakan hal yang buruk, tapi ia tidak merasa perlu untuk membanggakannya ataupun menceritakannya kepada orang-orang yang ia kenal—kepada siapa ia selalu berbagi cerita. Kali itu, gengsinya berbicara, tidaklah pantas seorang Anya terlihat makan bersama seorang bapak tukang becak yang bukanlah siapa-siapa.
Akhirnya, kekhawatiran Anya membuat Anya mengurungkan niatnya. Dia terus meyakinkan dirinya bahwa sepotong roti sudahlah cukup. Lagipula itu bukan sekedar roti biasa. Toko roti Bakery adalah toko roti yang paling besar di kota tempatnya tinggal waktu itu, dan roti-roti yang dijual di Bakery sudah terkenal enak, bahkan sampai ke kota asalnya. Akhirnya, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Akan ada kesempatan yang lain.”
Anya berhasil memborong semua barang yang ia perlukan dan akhirnya sampai di kosnya dengan selamat. Ia memberi bapak tua itu upah secukupnya—yang tidak diprotes oleh bapak itu, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Anya menghela nafas, dan menenteng belanjaannya masuk ke dalam kamarnya. “Masih ada lain kali,” katanya dalam hati.
Like this:
Like Loading...